Friday, December 30, 2011

Kim

Membaca novel karya Rudyard Kipling ini, baru aku menyadari bahwa antara tahun 1830 hingga 1870 pernah terjadi peristiwa sejarah yang disebut The Great Game (Permainan Besar), yaitu perseteruan politik Kerajaan Inggris dan Kerajaan Rusia untuk berkuasa di Asia Tengah. Dalam buku yang masuk di urutan 78 dari 100 buku berbahasa Inggris terbaik abad 20 ini, Permainan Besar ini menjadi makin populer.

Kim adalah nama seorang bocah laki-laki yatim piatu yang suka berkeliaran di jalan-jalan kota Lahore. Nama aslinya Kimball O'Hara, putra seorang prajurit kulit putih di sebuah resimen Irlandia. Sebelum meninggal, ayah Kim mewariskan dokumen-dokumen yang menyatakan jatidiri Kim, yang lalu dijahit dalam paket yang senantiasa terkalung di lehernya. Meski berkulit putih dan putra seorang Sahib, Kim lebih suka berpakaian Hindu. Ia dijuluki Kawan Kecil dari Pelosok Dunia, dan kerjaannya meminta-minta di jalanan, sambil menjadi mata-mata kecil seorang pedagang kuda Pashtun bernama Mahbub Ali. Mengapa pedagang kuda butuh mata-mata? Karena pedagang kuda yang satu ini sejatinya adalah agen rahasia Inggris. Inilah jejak pertama intrik politik dalam kisah yang awalnya nampak sebagai kisah petualangan spiritual saja.

Suatu hari ketika sedang duduk di atas sebuah senjata yang disebut Zam-Zammah, takdir Kim mempertemukannya dengan seorang lama (biarawan) Tibet tua yang sedang melakukan Pencarian. Konon Sang Buddha pernah menembakkan anak panah dalam suatu kontes untuk melamar seorang gadis. Anak panah itu meluncur jauh, lalu menancap ke tanah. Dari sana keluarlah air dan akhirnya menjadi sungai. Sungai itu dipercaya dapat membersihkan seseorang dari segala dosa, dan disebut sebagai Sungai Anak Panah atau Sungai Penyemuhan. Sungai inilah yang hendak dicari sang lama demi melepaskan diri dari belenggu Roda Kebendaan. Seperti layaknya semua peziarah, sang lama membutuhkan seorang chela (murid) untuk melayaninya agar ia dapat fokus pada urusan spiritualnya. Kim yang berjiwa petualang segera menemani sang lama dan dengan demikian menjadi chela-nya.

Inilah Zam-Zammah yang benar-benar ada dan hingga kini masih dipajang di depan Museum Lahore, tempat pertemuan Kim dengan lama-nya di buku ini

Tugas seorang chela antara lain mengemis makanan dengan menggunakan mangkuk derma, dan menyiapkan tempat untuk tidur bagi sang lama dan dirinya sendiri. Dalam tugas pertamanya, Kim--tanpa menduga sama sekali, mulai terjerumus ke dalam intrik politik Permainan Besar. Mahbub Ali yang keberadaannya sudah dicurigai pihak musuh, mendapat ide untuk mengirim surat rahasia lewat perantaraan Kim. Siapa sih yang akan mencurigai dua orang peziarah miskin berpakaian kumal itu? Namun Kim yang cerdik tak serta merta percaya bahwa kabar yang dikirimnya berkaitan dengan kuda jantan putih. Dari mencuri dengar, ia tahu bahwa sesuatu yang besar dan penting sedang berlangsung.

Dalam kondisi itulah sang lama dan sang chela berangkat melakukan peziarahan. Sang lama fokus pada Pencariannya, sementara sang chela belumlah lega kalau tugas rahasianya belum terlaksana. Keindahan buku ini terletak pada--salah satunya, keindahan desa dan pegunungan di daerah-daerah yang dilalui Kim, juga semrawutnya kota-kota besar dalam kemiskinannya. Kipling dengan sukses membawa pembacanya seolah meneropong langsung budaya dan sosial India abad ke 19.

Sementara itu, Permainan Besar sedang diam-diam berlangsung. Meski tak diceritakan dengan detail, ketegangan mulai terbangun ketika satu persatu 'oknum' agen rahasia itu bersilangan jalan dengan sang lama (yang lugu dan tak menyadari adanya sesuatu yang tidak biasa) dan Kim. Menyadari kecerdikan dan keberanian Kim, agen rahasia bermaksud melatih Kim untuk menjadi seorang agen. Ia sempat mengenyam pendidikan yang menjadi hak anak seorang sahib, hingga tumbuh menjadi seorang pemuda.

Apakah yang akan terjadi kemudian? Berhasilkah Kim menjadi agen rahasia sungguhan? Bagaimana dengan Pencarian sang lama, akankah ia menemukan Sungainya?

Bila anda merasa asing dengan gaya penulisan Rudyard Kipling--yang telah diterjemahkan dengan baik oleh mbak Rini Nurul Badariah, jangan menyerah dan langsung menutup buku ini. Telan saja istilah-istilah asing yang bertebaran sedari awal halaman, dan kunyah saja perlahan kalimat-kalimat panjang di sana sini. Kalau mau, catatlah nama atau istilah yang terasa asing. Teruslah membaca sambil berusaha mencerna. Karena setengah bagian ke belakang, saat anda sudah mulai terbiasa dengan gaya penulisan Kipling, dan cerita mulai menegang dengan intrik politik dan mata-mata, anda akan keasyikan sendiri membaca buku ini.

Meski awalnya aku berencana memberi tiga bintang saja karena plot yang sulit dimengerti dalam buku ini, namun setelah membaca sampai akhir, aku berubah pikiran. Empat bintang kuberikan untuk buku ini. Gaya penulisan Kipling memang agak sulit dipahami, namun justru gaya itulah yang membuat buku ini sangat khas. Lama kelamaan, aku jadi suka juga dengan gaya Kipling bertutur....

Note:
Buku ini kubaca karena kebetulan Rudyard Kipling berulang tahun di bulan Desember. Sebagai hadiah, aku persembahkan review ini tepat di hari ulang tahunnya yang ke 146, hari ini: 30 Desember 2011. Happy birthday Paman Kipling!

Judul: Kim
Penulis: Rudyard Kipling
Penerjemah: Rini Nurul Badariah
Penyunting: Dhewiberta
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juni 2011
Tebal: 453 hlm

Victorian Challenge 2012

Khusus untuk blog ini, aku akan ikut reading challenge dari blogger luar. Temanya sip deh... Victorian Challenge 2012. Tantangannya adalah membaca buku atau menonton film atau mendengarkan audio book yang berhubungan dengan jaman Victoria (ketika Ratu Victoria berkuasa), yang mencakup tahun 1837 sampai dengan 1901.

Ini nih rules-nya:

1. The Victorian Challenge 2012 will run from January 1st to December 31st, 2012. You can post a review before this date if you wish.

2. You can read a book, watch a movie, or listen to an audiobook, anything Victorian related that you would like. Reading, watching, or listening to a favorite Victorian related item again for the second, third, or more time is also allowed. You can also share items with other challenges.

3. The goal will be to read, watch, listen, to 2 to 6 (or beyond) anything Victorian items.

Setelah search di google, ada beberapa penulis yang membawa pengaruh jaman Victoria. Aku ambil 10 di antaranya yang akan kubaca buku-bukunya (dan kutonton filmnya) selama 2012 ini:

1. [DONE] -- Great Expectations by Charles Dickens

2. [DONE] -- Alice's Adventures in Wonderland by Lewis Carroll (video book)

3. [DONE] -- A Tale of Two Cities by Charles Dickens

4. [DONE] -- The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde by Robert Louis Stevenson

5. [DONE] -- The Adventures of Sherlock Holmes by Sir Arthur Conan Doyle

6. [DONE] -- Black Beauty by Anna Sewell

7. [DONE] --  Sketches by Boz by Charles Dickens

8. [DONE] -- The Old Curiosity Shop by Charles Dickens

9. [DONE] -- The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde

10. [DONE] -- The Importance of Being Earnest by Oscar Wilde

Ada yang mau ikut juga? Challenge ini bisa digabung dengan challenge lainnya juga.

Intip juga beberapa reading challenge yang kuikuti, siapa tahu ada yang cocok buatmu, di sini.

Saturday, December 24, 2011

A Christmas Carol

I think you would agree with me, that Christmas is the most festive days in a year—whether you celebrate it or not. Christmas is identical with sparkling of lights, thus representing a season full of laughter and joy. It’s hard to not being happy during Christmas, why, with all the cakes, ornaments, gifts…and holiday of course! But, it does not work out the same for a sour and stingy man named Scrooge. Well, sometimes name does speak of everything about a man, right?

Scrooge dedicates his life solely for his business. He doesn’t care about Christmas; he even hates Christmas because it is a time when he cannot make much money. So, on that day before Christmas he rejected his nephew’s invitation for a family Christmas dinner, then rejected a man who asked for donation and sent him away. He also scowled at his clerk who asked for a half day off, and instead asked him to come earlier on Christmas day! What a miserly man...scrooge!

But on that eve of Christmas, Scrooge got a surprise. His late business partner who has passed away seven years ago—Marley, ‘came’ visiting Scrooge at his apartment. When approaching his room, Scrooge saw a shadowy image of Marley’s face on his door knocker… It’s a phantom! Marley’s ghost! At first Scrooge got scared, and all he would have said is: “Humbug!”, meaning ‘nonsense’, which seems being one of Scrooge’s favorite word! However, it did not take too long before the phantom made Scrooge believe in it. But why did Marley haunt his ex-partner?

the illustration of Marley's ghost and Scrooge

Apparently, Marley wanted to tell his friend that he regretted what he had not done during his short life, years ago. Marley did not realize then, that the most important thing in life was not business and wealth, and that he had misused his opportunity of life given to him. Now it is too late for him to reconcile them, not when he is only a ghost. So, Marley came to tell Scrooge that, in order to give him a second chance of life, Three Spirits would haunt him starting from the next night when the bell tolled One. It will be followed by the second and third visits the following consecutive nights at the same hour. And then...Marley's ghost faded...

In no time Scrooge fell a sleep, only to woke up abruptly when the bell tolled. Oops, it’s one o’clock already! And there it came, the first ghost who called itself The Ghost of Christmas Past. As promised by Marley, this ghost was followed by two more, The Ghost of Christmas Present and…. (can you guess from the pattern?)...The Ghost of Christmas Yet To Come! Each of them took Scrooge to different time sets of his life.

First, The Ghost of Christmas Past took Scrooge to his past life, three past Christmases. From these scenes, you will have clues to what might have changed Scrooge from once a lovable boy to the bitter man he is now. I think sometimes we ought also to review our own life like Scrooge did. That way we can see how far we have transformed from the kind and lovable child we used to be, to what we are at present. Then we will know what was going wrong with our life, so that we will be able to resolve it.

The second turn, The Ghost of Christmas Present took Scrooge to the lives of people surround him. First they visited Bob Cratchit's (the clerk) poor house. On that Christmas, Bob's son--Tiny Tim, was cripple and ill, and he might not be able to see the next Christmas, because his father cannot afford to buy the required medicament from his little salary. Nevertheless, they all live happily, love each other, and especially that night, they had a merry Christmas with what they can afford. The ghost also took Scrooge to his nephew Fred's Christmas party. The party Scrooge had rejected the invitation earlier that day. The party which turned out to be very entertaining, that Scrooge himself enjoyed the games and the singing. Of course, out of the sights of the others!

The most terrifying part of this book is, perhaps, the visit of The Ghost of Christmas Yet To Come. Taking the form of a black hooded spirit, The Ghost of Christmas Yet To Come showed Scrooge things that were going to happen in the future. Things that scared Scrooge enough to promise that he will change his life. What scenes had Scrooge seen this time? And did those Three Spirits succeeded in convincing Scrooge to resolve his life? And how will he do that? Will he still get a chance to have a very merry Christmas?

This story is really simple. Dickens wants to remind us about love, passion, warmth, and kindness that are the true value of Christmas. But above that, Dickens also wants to show us that Christmas is not just about prosperity (expensive gifts, luxury hotels, fine foods), but more on the charity, acceptance and forgiveness. On the other hand, a party will bring joy only when you enjoy it among your loved ones. The atmosphere of British traditional Christmas in 19h century has been beautifully described with all the details in this book. This book is also included in the 50 Books That Changed The World (by Andrew Taylor), for creating the basic of Christmas tradition that is continuing until now.

So in conclusion, there's nothing wrong with being a serious and responsible adult. But, don't be too carried away--like Scrooge, that you forget the love and tenderness in you. It’s OK to be childish sometimes! Especially on a special day like Christmas....

Four stars for Charles Dickens' A Christmas Carol.

-----

This time I read an e-book version (no translation is available yet). I like it, but unfortunately it doesn't come with an attractive cover (the one I put here is the color version). I searched through Goodreads and found two lovely covers that I think would be most suitable for this book. Here they are..


Hopefully one of our publishers will publish the translated version of this book in one of these covers!

Finally, have a merry Christmas for you who celebrate it, and a happy new and prosperous year of 2012!

Title: A Christmas Carol
Author: Charles Dickens
Publisher: Sony Connect Inc.
e-book source: The Pennsylvania State University, 1998
Published: 2007
e-pages: 100

Monday, December 12, 2011

Madame Bovary

Tak heran kalau Gustave Flaubert disebut sebagai penulis yang perfeksionis [Flaubert was notoriously a perfectionist about his writing and claimed always to be searching for le mot juste ("the right word") ~wikipedia]. Novel Madame Bovary ini membuktikannya. Untuk menggambarkan suatu keadaan atau suasana, Flaubert seolah menggabungkan realisme dengan romantisme. Ia menuliskan segala sesuatunya dengan gamblang, amat jelas tiap detailnya, namun kadang menggunakan kalimat-kalimat metafora juga. Dan sungguh, metaforanya benar-benar mempesona. Lihat saja contohnya:

“…sinar bulan menerpa permukaan air sungai yang membuat permukaan air berkilau-kilau bagai kelap-kelip bintang; cahayanya yang keperakan bagai menembus sampai ke dasar sungai bagai seekor ular tanpa kepala yang seluruh tubuhnya tertutup sisik yang bersinar. Sinar itu juga mirip sebuah lilin raksasa yang melelehkan untaian intan bercahaya di sepanjang sisinya.” ~hlm. 290.

Tak diragukan, itu pasti salah satu hasil pemilihan kata yang amat cermat dari seorang Gustave Flaubert, yang menyulap cerita yang biasa-biasa saja menjadi karya sastra yang indah. Konon, dibanding dengan rekan-rekan sesama penulis besar di jamannya, Flaubert termasuk yang paling sedikit menelurkan karya. Rupanya perfeksionisme tak berjalan lurus dengan produktivitas. Madame Bovary kebetulan menjadi karya pertamanya yang paling terkenal sekaligus kontroversial. Mengapa kontroversial?

Madame Bovary bermuatan kritik sosial yang diteriakkan Flaubert atas borjuisme dan ketidakberdayaan wanita di Prancis pada jaman itu (kisah ini bersetting di sekitar Normandy pada paruh kedua abad 19). Karya tersebut dianggap meresahkan karena tidak bermoral dan tidak beragama. Flaubert bahkan diseret ke pengadilan, meski akhirnya menang berkat seorang pengacara asal Rouen bernama Marie-Antoine Jules Sénard. Kepada sang pengacara lah novel ini kemudian didedikasikan, seperti terbaca di surat yang dilampirkan setelah halaman judul. Hingga di sini, anda tentu makin penasaran dengan inti kisah Madame Bovary. Inilah dia…

Kisah dibuka oleh tokoh Charles Bovary, anak laki-laki biasa, penggugup dan tidak menarik, yang tinggal di kota kecil. Ia tumbuh sebagai pria yang baik hati, berwawasan sempit, dan agak malas. Setelah belajar mati-matian, Charles akhirnya berhasil menggenggam gelar dokter. Meski begitu, karena sama sekali tak memiliki ambisi, ia hanya menjadi dokter kelas desa dan kehidupannya tak pernah menanjak. Suatu hari ia mendapat panggilan untuk menyembuhkan kaki seorang petani kaya yang patah. Di sana ia akhirnya bertemu dan berkenalan dengan anak gadis sang petani yang cantik dan anggun, bernama Emma.

Kebalikan dari Charles, Emma gadis yang menarik, penuh imajinasi, memiliki minat pada gemerlapnya kota, romansa percintaan ala novel, serta kehidupan borjuis. Sejak awal Charles jelas tertarik pada Emma, meski saat itu ia telah beristri wanita sederhana yang kalah jauh dibanding Emma. Tiba-tiba di usia muda sang istri mendadak meninggal. Charles menjadi duda, dan mulai serius mendekati Emma. Gayung bersambut, keduanya pun menikah. Emma meninggalkan rumahnya di pertanian membosankan yang ia benci, siap menyambut masa depan baru yang lebih menjanjikan.

Sayangnya, impian romantis Emma jauh dari kenyataan. Charles memang dokter yang berdedikasi, namun ia pria sederhana membosankan yang hanya melakukan tugasnya saja. Pasiennya orang-orang desa Tostes, tempat mereka tinggal sebelum akhirnya pindah ke Yonville. Padahal yang diinginkan Emma adalah gaun-gaun mewah, pesta dansa, chatteu, pria-pria tampan dan ambisius. Pendek kata, Emma bosan, tak puas dengan hidupnya, bahkan setelah melahirkan Berthe—anak perempuannya.

Hasrat Emma untuk keluar dari hidup yang membosankannya, membawanya pada perselingkuhan. Awalnya dengan Léon, asisten notaris setempat yang cerdas lagi romantis, sama-sama menghargai keindahan yang dipuja Emma. Namun kisah cinta itu tak berlangsung lama karena kegamangan Emma menjalani perselingkuhan. Ia lalu kembali (mencoba) setia kepada suaminya. Sayangnya, hal itu juga tak berlangsung lama. Karena begitu seorang pria kaya dan playboy bernama Rodolphe muncul dalam kehidupan Emma, suaminya langsung terlihat labih buruk di mata Emma daripada sebelumnya. Dengan segala cara Emma berusaha untuk merengkuh kehidupan yang diimpikannya. Selain dengan perselingkuhan, juga dengan mulai berhutang pada seorang pedagang.

Pertanyaannya, apakah akhirnya sang Madame Bovary akan merasakan kebahagiaan yang diimpikannya? Anda akan dibawa pada pertistiwa demi peristiwa, dan suasana sang Madame yang berubah-ubah, sebelum akhirnya pertanyaan itu dapat terjawab di akhir cerita.

Dengan menulis buku ini, Flaubert membuka problem sosial pada jamannya, di mana wanita harus menggantungkan nasibnya 100% pada kaum pria. Begitu menjadi istri, seorang wanita diharapkan mengurus rumah tangga saja. Ke mana pun sang suami mengarahkan bahtera rumah tangga mereka, sang istri hanya bisa ikut hanyut saja. Kalaupun seorang wanita memiliki impian sendiri, hanya dua pilihan yang dimilikinya. Mengejar impian itu dengan resiko melepaskan segala yang ia miliki, atau mengubur impian itu dalam-dalam dan menelan saja apa yang ada. Buku ini kelak dianggap sebagai pelopor gerakan feminisme.

Di sisi lain, aku juga melihat jurang yang tak terjembatani antara Charles dan Emma. Klise sebetulnya, masalah suami-istri yang tak memiliki kesamaan visi. Hal itu yang kuamati banyak menimbulkan perceraian di masa modern ini. Padahal jaman dahulu hal yang sama juga terjadi, namun karena nilai-nilai religiusitas dan martabat masih dipegang tinggi, maka semuanya hanya bagai api dalam sekam.

Pada akhirnya, kaum wanita jaman sekarang harus merasa beruntung karena mereka memiliki kesempatan yang sama dengan kaum pria untuk mengejar dan mewujudkan impian mereka. Namun tetap saja, impian juga harus ada batasnya. Ketika mustahil untuk menggapai impian tertentu, kita harus dapat menerima kenyataan dan mengembangkan apa yang kita miliki untuk menberikan kebahagiaan bagi kita. Bagaimana pun, kebahagiaan toh sesuatu yang harus kita ciptakan, bukan sesuatu yang jatuh dari langit, kan?

Empat bintang kukemas rapi sebagai hadiah Ulang Tahun untuk Gustave Flaubert yang ke 190, tepat pada hari ini, 12 Desember 2011!

Judul: Madame Bovary
Penulis: Gustave Flaubert
Penerjemah: Santi Hendrawati
Penyunting: M. Sidik Nugraha
Penerbit: Serambi
Terbit: Juni 2010
Tebal: 507 hlm

Thursday, December 8, 2011

A Study In Scarlet

Selamat datang di 221B Baker Street, London! Dari sebuah apartemen berkamar dua inilah, genre fiksi detektif modern pertama kali lahir. “Ayah”nya adalah Sir Arthur Conan Doyle, yang menciptakan tokoh detektif yang sangat cakap dalam hal deduksi: Sherlock Holmes. Lewat 4 novel panjang dan 56 cerita pendek, Sherlock Holmes menciptakan tren baru bagi kisah fiksi detektif, dan menginspirasi banyak penulis genre ini setelah era Doyle.

A Study In Scarlet merupakan novel pertama dari 4 novel panjang tentang Holmes. Di kisah inilah Holmes dan Dr. Watson pertama kali dipertemukan. Watson adalah seorang dokter veteran perang yang sedang mencari tempat tinggal murah di London. Oleh mantan koleganya, ia dipertemukan dengan seorang ahli kimia misterius bernama Sherlock Holmes. Awalnya Watson terheran-heran bagaimana Holmes dapat menebak secara tepat latar belakang seseorang hanya dalam hitungan detik; termasuk mengenali Watson sebagai dokter yang baru pulang dari perang Afganistan—yang mana tepat sekali dengan kenyataannya. Hingga akhirnya, misteri bidang pekerjaan Holmes terungkap ketika terjadi sebuah pembunuhan di rumah kosong di Brixton.

Sebagai konsultan kasus kriminal, Holmes dimintai oleh dua detektif terkemuka Scotland Yard untuk memecahkan misteri pembunuhan yang aneh itu. Korbannya seorang pengusaha bernama Drebber, tak ada luka di tubuhnya, namun ada darah terpercik di TKP. Juga ada tulisan “Rache” tertulis dengan darah di dinding. Penting untuk dicatat, konon di kisah inilah pertama kalinya kaca pembesar digunakan sebagai salah satu alat penyidikan oleh seorang detektif.

Holmes mempelajari tulisan darah “Rache” di dinding, melalu kaca pembesar

Hanya dengan sekali pengamatan, Holmes mampu membuat kolega-koleganya (termasuk Watson yang ikut mendampingi Holmes) ternganga karena dapat langsung menyebutkan ciri-ciri pembunuhnya! Bagaimana Holmes dapat mengidentifikasi pembunuhnya? Dan siapa sang pembunuh tersebut? Apa motifnya?

Nah, di sinilah letak perbedaan kisah ini dengan novel detektif yang biasa kubaca. Aku adalah pecinta novel-novel detektif karya Agatha Christie, jadi mau tak mau aku langsung membandingkan Holmes dengan Poirot. Terbiasa dengan kronologi penyidikan hingga ditutup dengan kesimpulan pada akhir kisah, aku terperangah juga ketika Holmes berhasil menangkap pembunuhnya hanya ketika kisah ini sampai di pertengahan. Hanya saja, siapa-mengapa-bagaimana-nya tetap tersimpan rapi sebagai misteri di penghujung bagian pertama buku ini.

Pada bagian kedua kisah ini kita tiba-tiba diajak menjelajah ke daerah Utah--Amerika Utara, yang gersang, pada tahun 1847. Seorang pria bersama seorang anak perempuan tengah tersesat di dataran yang luas selama berhari-hari, tanpa makanan, tanpa air, siap menghadapai ajal. Tiba-tiba lewatlah serombongan besar orang yang akhirnya menyelamatkan mereka. Rombongan itu ternyata adalah rombongan kaum Mormon (sekte pecahan dari Gereja Kristen) yang dipimpin oleh Birgham Young.

Bila kita menilik sejarah, Birgham Young adalah pendiri kota Salt Lake City—ibukota Negara bagian Utah. Awalnya kota itu didirikan untuk populasi kaum penganut Mormonisme, namun saat ini penganut Mormon hanyalah separuh populasi Salt Lake City.

Brigham Young, tokoh pelopor penganut Mormon

Kembali pada tokoh kita, pria bernama John Ferrier dan anak perempuan yang kemudian diangkatnya sebagai anak, Lucy Ferrier. Dari kisah keduanya inilah, anda akan mendapati benang merah yang menghubungkan kisah bagian kedua ini dengan pembunuhan di bagian pertama tadi. Maka, tak salah bila Holmes kemudian menamai kasus ini sebagai “penelusuran benang merah” atau A Study in Scarlet.

Sebenarnya daya tarik utama kisah ini—bagiku—adalah kisah di bagian kedua, dan bagaimana ia dibuat memiliki benang merah dengan bagian pertama. Mengenai metode penyidikan Holmes dan karakter sang detektif sendiri, aku tetap lebih menyukai Hercule Poirot, “anak” Agatha Christie. Penangkapan si pembunuh pada pertengahan kisah rasanya menjadi anti klimaks. Dan karena porsi Holmes hanya setengah lebih sedikit, maka karakternya kurang tergali di sini. Entah di ke 3 novel yang lain.

Empat bintang aku sematkan untuk kasus Holmes ini!

Judul: A Study In Scarlet
Penulis: Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah: B. Sendra Tanuwidjaja
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2007
Tebal: 216 hlm

Thursday, December 1, 2011

Classic Authors of December

Masih dalam rangkaian Classic Authors of the Month, di bulan penutup tahun ini, ada lima orang penulis klasik besar dunia yang akan berulang tahun. Mereka adalah:

George MacDonald

George MacDonald dikenal sebagai penulis berkebangsaan Skotlandia, penyair sekaligus pendeta Kristen. Ia lahir pada 10 Desember 1824, dan menjadi terkenal berkat gaya penulisannya untuk novel fantasi dan dongeng. Banyak penulis yang terinspirasi dari MacDonald, seperti C.S. Lewis, Edith Nesbit, J.R.R. Tolkien dan Madeline L’Engle. Bahkan Mark Twain—yang tak suka pada Donald namun tetap berteman, disebut-sebut juga sedikit terinspirasi oleh karya MacDonald. Karya-karya besarnya antara lain: The Princess and the Goblin dan Phantastes.


Gustave Flaubert

Gustave Flaubert yang lahir di Rouen, Prancis pada 12 Desember 1821 ini akhirnya menjadi salah satu penulis terbesar dari Barat. Novelnya yang paling terkenal, Madame Bovary, merupakan novel pertamanya yang diterbitkan. Konon, Flaubert mulai menulis ejak usia delapan tahun! Di Paris, kota yang tak ia sukai, di mana ia belajar hukum, Flaubert sempat berteman dengan Victor Hugo, Émile Zola dan Ivan Turgenev. Ia sempat pergi ke Corsica, dan setelah mendapat serangan epilepsi tahun 1846, ia meninggalkan Paris dan sekolah hukumnya. Flaubert tak pernah menikah, tapi pernah menjalin hubungan cinta dengan seorang penyair bernama Louise Colet. Flaubert juga termasuk amat terbuka tentang aktivitas seksualnya, dengan pelacur--wanita maupun sesama pria. Ia meninggal di usia 58 tahun setelah menderita penyakit seksual.

Terkenal dengan caranya yang perfeksionis, Flaubert tak mau sembarangan menggunakan kata-kata. Ini membuat produktifitasnya jauh dibawah rata-rata penulis lainnya. Bagaimana tidak, kalau ia kadang bisa menghabiskan seminggu hanya untuk menyelesaikan satu halaman saja? Gaya menulis Falubert berada di antara romantis dan realis.


Betty Smith

Terlahir sebagai Elizabeth Wehner di Brooklyn pada 15 Desember 1896, Betty kemudian bersekolah di sekolah khusus perempuan di Brooklyn. Pengalaman inilah yang kelak mewarnai novel pertamanya: A Tree Grows in Brooklyn (sudah diterbitkan oleh Gramedia). Betty memperoleh nama Smith di belakang namanya karena menikah dengan George H.E. Smith. Namun akhirnya ia bercerai dari Smith, dan menikah dengan suami kedua pada tahun yang sama ketika A Tree Grows in Brooklyn diterbitkan. Selain menulis novel, Betty juga penulis drama. Ia pernah memperoleh penghargaan Rockefeller Fellowship and the Dramatists Guild Fellowship.


Jane Austen

Lahir pada tanggal 16 Desember 1775 di Inggris, Jane Auten adalah salah seorang penulis fiksi romantic yang karya-karyanya terbanyak dibaca di dunia. Jane lahir dalam keluarga tuan tanah (landed gentry), dan novel-novelnya banyak mengkritisi kondisi sosial di lingkungannya. Karya-karya Jane yang terkenal adalah Sense and Sensibility, Pride and Prejudice (diterbitkan Mizan dan Bukune), Mansfield Park dan Emma. Novel-novelnya bertutur tentang kemandirian wanita dalam perkawinan, demi mendapat tempat dalam kehidupan sosial dan keamanan secara finansial.

Tahun 1802 Austen menerima satu-satunya lamaran perkawinan dari teman masa mudanya, yang langsung ia terima. Namun keesokan paginya Austen sadar ia telah melakukan kesalahan dan sebenarnya tidak mencintai si pria, maka ia menarik kembali persetujuannya untuk menikah.

Pada 1816 Jane mulai merasa tak sehat, dan tanpa memperhatikan kesehatan fisiknya dan terus menulis, akhirnya kondisinya makin memburuk. Jane meninggal dunia pada usia 41 dan dimakamkan di Katedral Winchester. Pada 2002 Jane Auten masuk ranking 70 daftar 100 Greatest Britons.


Rudyard Kipling

Meski berkebangsaan Inggris, Joseph Rudyard Kippling lahir di Bombay, India, pada 30 Desember 1865. Dan meski sejak usia lima tahun ia diboyong keluarganya ke Inggris, Kipling tetap memiliki keterikatan yang kuat pada India. Pada usia 16 tahun ia kembali ke Bombay, dan hanya beberapa hari di sana, ke-Inggris-annya dapat dibilang telah lenyap dari dirinya. Inilah yang kesannya tentang Bombay:

Mother of Cities to me,
For I was born in her gate,
Between the palms and the sea,
Where the world-end steamers wait.

Tak heran pula kalau banyak karya sastranya yang mengambil setting di India. Sebut saja The Jungle Book (diterbitkan Atria), Just So Stories (akan diterbitkan Gramedia), dan Kim (diterbitkan Bentang Pustaka). Kipling disebut-sebut sebagai inovator dalam seni penulisan cerita pendek.

Demikianlah sekilas profil 5 orang penulis klasik dunia yang ulang tahunnya kita rayakan dalam bulan Desember. Mari kita merayakannya dengan membaca karya-karya mereka, lebih baik lagi kalau kita membuat reviewnya, lalu mempostingnya tepat pada hari ulang tahun penulis yang kita pilih karyanya. Aku memilih Rudyard Kipling dengan karyanya: Kim. Bagaimana dengan anda?